Sebagai 'bahan dasar' utama dalam reproduksi, sperma tentu haruslah prima dan berkualitas. Namun benih yang dihasilkan para pria ini ternyata cukup sensitif dan mudah dipengaruhi berbagai hal. Salah satu yang diklaim dapat mempengaruhi kualitas sperma pria dewasa adalah kebiasaannya di masa remaja. Benarkah itu?
"Jelas pengaruh, misalnya varikokel (varises pada testis) ada kerusakan di pembuluh darah di testis, salah satunya disebabkan dulu waktu remaja suka olahraga yang banyak menggunakan otot perut misalnya scot jump, sit up atau angkat beban," terang dr Johannes Soedjono, M.Kes., SpAnd., ketika dihubungi detikHealth, seperti ditulis Rabu (9/10/2013).
Spesialis andrologi dari Unit Kesehatan Reproduksi/Andrologi RS AL Dr Ramelan, Surabaya ini pun mengungkapkan jika gaya hidup juga berpengaruh signifikan terhadap kualitas sperma. "Misalnya pengen berotot, selain nge-gym tapi juga minum obat steroid yang bisa meningkatkan hormon testosterone, itu malah akan merusak sperma," katanya.
Padahal menurut dr. Johannes, konsumsi obat steroid mengakibatkan produksi hormone testosteron alami semakin berkurang. Apalagi seiring dengan pertambahan usia, 'pabrik sperma' alias testis itu sendiri lama-lama takkan memproduksi hormon testosterone lagi. Otomatis hal ini menyebabkan produksi sperma juga bakal turun atau bahkan tidak berproduksi sama sekali.
Selain gaya hidup, pilihan jenis olahraga hingga konsumsi obat-obatan tertentu, seksolog Dr Andri Wanananda, MS. juga menekankan jika gangguan kesehatan seperti parotitis (gondongan) ternyata dapat menurunkan kualitas sperma yang diproduksi pria.
"Apalagi kalau sampai parah dan tidak diobati, virus yang tadinya hanya di pipi jadi turun ke bawah kena ke testis, dan terganggulah jumlah maupun kualitas spermanya. Kurangnya asupan gizi juga pengaruh terhadap asupan sperma," tandas dr. Andri.
Namun dr. Andri mengingatkan jika frekuensi olahraga yang rendah (jarang atau tidak pernah berolahraga sama sekali) di masa remaja tidaklah berpengaruh terhadap jumlah dan kualitas sperma pria dewas. Kondisi semacam ini masih bisa disiasati dengan menambah frekuensi olahraga di kemudian hari.