Tidak aneh jika mendapati dinding yang penuh coretan tangan iseng, meski di dinding itu sudah ada sebuah peringatan “Dilarang coret-coret”. Semakin dilarang semakin penuh coretannya. Pernah ada anak sekolah yang mencoret bis kota dengan spidol dengan alasan, “Saya cuma menambah coretan yang sudah ada kok…” sambil menunjuk tulisan “dilarang mencoret” yang dianggapnya sebagai coretan pertama.
Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau tempat-tempat yang dianggap strategis lainnya yang beraroma tak sedap alias bau pesing, selalu saja ada peringatan “Dilarang kencing di sini”. Bukan karena sebelumnya tempat itu selalu jadi tempat aman untuk buang hajat, melainkan memang sampai detik ini masih selalu dipakai oleh mereka yang kesulitan menemukan toilet yang sebenarnya.
Sering juga lihat tulisan “Dilarang dicoba sebelum membeli” di antara tumpukan buah lengkeng di sebuah pusat perbelanjaan. Menarik sekali karena justru tulisan itu dikelilingi orang-orang yang tengah memilih sambil menikmati manisnya buah kelengkeng. Alasannya sih masuk akal, “Kalau manis baru kita beli, makanya dicoba dulu”. Tapi kenapa nyobanya berkali-kali?
Tidak berbeda ketika memberikan larangan kepada anak-anak. Misalnya, “jangan disentuh” pasti disentuh, atau “jangan berisik” justru gaduhnya minta ampun. Dibilang jangan berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah di dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga sebaliknya. Di Mall, seorang ibu yang berpesan “jangan kemana-mana ya nak, diam di sini”, sesaat kemudian kebingungan mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.
Akhir pekan kemarin saat menjadi trainer outbound anak-anak SMA, anak-anak yang takut melintasi flying fox dimotivasi tidak dengan cara menyemangati, melainkan diminta untuk menyerah. “Sudah ya, menyerah saja. Daripada ragu-ragu, wajar kok kalau anak-anak takut”. Yang terjadi sebaliknya, ia maju dengan berani dan melewati semua rintangan. Dia bilang, “Siapa yang takut?”
Ini logika terbalik, dilarang justru dilakukan, tidak boleh diartikan sebagai izin, namun ketika diizinkan malah tidak melakukan apa-apa. Perintah tidak digubris, yang tidak diperintah malah dikerjakan.
Secara psikologis, kalimat “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang” mengandung rasa ingin tahu. Anak-anak maupun orang dewasa memiliki kecenderungan yang sama, jika dilarang lantas bertanya, “kenapa?”, maka reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa yang “tidak boleh” dan “dilarang” itu untuk mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.
Dilarang main api, maka ada yang nekat main api. Ketika terjadi kebakaran, barulah ia mengerti kenapa main api itu dilarang. Orang belum bisa percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu bisa menyebabkan banjir, bahkan menebang pohon secara serampangan akan mengakibatkan banjir bandang. Nanti jika sudah benar-benar terjadi banjir, barulah ia mengerti akibat perbuatannya. Masalahnya, sudah terlambat.
Seperti tulisan ini, meskipun judulnya “Jangan Dibaca”, Anda membaca juga kan ? Begitulah kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tidak masalah, sepanjang perasaan itu mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif. (gaw).