Admin
Selasa, 24 September 2013
ANAK muda itu berjalan pelan menuju ke bola yang diletakkan di depan gawang. Ilham Udin Armayn bersiap-siap hendak menendang bola. Jutaan pasang mata terpaku ke arahnya. Di layar televisi, seorang komentator meminta agar jutaan orang yang menyaksikan itu ikut mendoakan agar tendangan anak muda itu tidak meleset.
“Jebreeeeettttt,” komentator berteriak kala tendangan Ilham berhasil merobek jala gawang. Ilham spontan berlari dan berteriak demi melapkan kegembiraan. Kiper Indonesia Ravi Murdianto ikut mengejar dan merayaan kebahagiaan itu. Ribuan penonton di stadion langsung bersorak-sorai. Di tengah kegembiraan yang memenuhi hati para penonton, sang komentator lalu mengutip kalimat Bung Karno, “Berikan aku sepuluh orang tua, akan kucabut Gunung Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, akan kuguncangkan dunia.”
Saya yang menyaksikan layar televisi langsung merinding. Saya ikut larut dalam puncak kegembiraan tersebut. Saya ikut berteriak “Gooolll!”. Saya bisa merasakan bagaimana rasa gembira serta dahaga akan penantian gelar selama 22 tahun. Malam itu, semua rasa haus itu langsung berakhir. Indonesia bukan lagi spesialis runner up atau partisipan di ajang pertandingan bola. Indonesia adalah juara. Saya semakin merinding ketika komentator mengutip Bung Tomo, “Selama banteng Indonesia berdarah merah, yang mampu membikin secarik kain putih jadi merah dan putih, maka kita tidak akan menyerah!”
Kini, sehari setelah pagelaran sepakbola AFF U-19, pertandingan final itu masih membekas di hati banyak orang. Bukan saja karena Indonesia sukses meraih titel juara. Namun juga karena drama, ketegangan, serta nasionalisme yang dikerek tinggi-tinggi. Ketika mengenang pertandingan itu, tiba-tiba saya terkenang pada sang komentator yang bisa membuat pertadingan itu jadi lebih heboh dan menegangkan. Ia sukses menghidupkan suasana. Ia telah menyebar virus dan kosa kata baru yakni “Jebret..!!”
Seusai kemenangan Indonesia atas Vietnam, banyak orang ikut memopulerkan kata Jebret. Di jagad Twitter, Jebret menjadi kata sakti yang diucapkan banyak orang atas kemenangan Indonesia. Tak hanya Jebret, beberapa kata lain juga populer yakni Jeger, aw aw, ahay, dan ‘melambung jauh’ (kata ini mengingatkan pada bait lagu Anggun).
Tak hanya itu, sang komentator menggelorakan semangat dan nasionalisme lewat kutipan kalimat-kalimat para founding fathers. Selain Bung Karno dan Bung Tomo, ia juga mengutip Soedirman, Kartini, hingga Bung Tomo. Siapakah komentator yang telah mengharubirukan nasionalisme kita semua?
Pria itu bernama Valentino Simanjuntak. Tadinya saya mengira ia sudah berusia 50-an tahun. Gayanya ketika mengomentari pertandingan mengingatkan saya pada reporter Radio Republik Indonesia (RRI) yang kerap menyiarkan pertandingan secara langsung, berdasarkan pandangan mata. Namun saat melihat fotonya, saya agak terkejut. Ternyata ia masih cukup muda dan ganteng. Di akun twitter-nya (@radotvalent), ia menulis bahwa dirinya adalah: “presenter, speaker, and lawyer.”
Kepada Tempo, ia mengaku bahwa awalnya ia disuruh membawakan komentar dengan gaya khas komentator Italia dan Amerika Latin. Ia melihat bahwa gaya kometator kita seringkali terlampau dingin dan tidak memasukkan emosi dalam laporannya. Ketika ia mendengar komentator di Amerika Latin, ia teringat pada gaya reportase khas RRI. Gaya seperti itu dulu sangat ppuler dan bisa bikin emosi warga turun naik. Kosakata Jebret telah dikenalnya sejak kecil. “Sebenarnya kata “jebret” itu biasa saya pakai kalau main bola waktu kecil. Di kampung saya, di Srengseng Sawah, kalau kita nendang kenceng, istilahnya kan “kita jebretin kipernya aja”. Atau “Awas loe ya, gue jebret loe.”
Mengenang Sambas
Mengapa ia selalu menyuruh penonton untuk berdoa? “Itu saya tiru dari Bung Sambas, komentator TVRI era 1980-an. Ia selalu mengajak penonton untuk berdoa. Selain itu, kita juga di dalam studio tegang, lho. Sambil meyakinkan diri sendiri, saya ajak juga penonton untuk berdoa. Seperti yang saya bilang, harapan itu selalu ada, ” katanya.
Mereka yang menyaksikan siaran olahraga tahun 1980-an, pastilah mengenal sosok bernama asli Sambas Mangundikarta. Pria yang lahir di Bandung tahun 1926 ini memulai karier dari RRI. Ia dikenal piawai menyiarkan tayangan olahraga secara langsung melalui radio. Pada masa itu, tak semua orang memiliki televisi, Tak semua orang memiliki akses untuk datang langsung ke lapangan. Melalui RRI, Sambas menyiarkan tayangan olahraga sekaligus menggelorakan semangat nasionalisme ke seluruh penjuru tanah air.
Gaya Sambas menjadi trendsetter yang mempengaruhi semua liputan olahraga. Sosok asal Jawa Barat ini adalah sosok fenomenal yang bisa membuat semua tayangan olahraga jadi lebih dramatis dan menghibur. Ia bisa mengaduk-aduk emosi dan bisa membuat penonton bersemangat dan merasakan atmosfer dalam stadion. Lagu ciptaannya “Manuk Dadali” pernah menjadi lagu wajib yang sealu dinyanyikan The Viking, kelompok suporter Persib Bandung sebelum tim itu berlaga.
Di awal tahun 1990, saya sering melihat Sambas memandu tayangan bulu tangkis. Sambas tak pernah obyektif. Ia akan membela Indonesia mati-matian dalam liputannya. Pernah, shuttlecock pemain Indonesia keluar, Sambas berkata bahwa bola seharusnya masuk. Suara baritonnya sangat khas. Demikian pula pilihan-pilihan katanya. Dan saya sangat yakin ketika Valentino berkata, “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,” kalimat ini dikutip dari Sambas, yang mengutipnya dari Soekarno.
Selain olahraga, Sambas juga mengasuh acara Dari Desa ke Desa yang tayang di TVRI. Ia amat sukses membawakan acara ini. Bahkan ketika ia pensiun pada tahun 1982, Presiden Soeharto tetap memintanya untuk membawakan acara itu. Maklumlah, suaranya yang khas itu membuat acara tentang pertanian itu menjadi sedemikian menghibur dan disukai orang.
Hingga kini, gaya tersebut masih sering hadir di layar televisi. Saat masih tinggal di Makassar, saya tahu bahwa jika tak sempat ke stadion Mattoanging untuk menyaksikan PSM bertanding, maka cukup menyalakan radio dan mencari siaran RRI. Di situ, akan ada siaran langsung yang mereportase semua yang terjadi di lapangan bola persis sebagaimana adanya. Kadang-kadang, penyiarnya lebay atau melebih-lebihkan apa yang nampak. Namun saya justru melihat itu sebagai bagian dari strategi untuk mmbuat tontonan jadi semakin menarik. Para komentator bola di luar negeri pun melakukan hal yang sama.
Bagi saya, yang menarik dari seluruh tayangan olahraga bukanlah fakta siapa yang menang dan siapa yang kalah. Yang membuat acara olahraga sangat menarik adalah drama dan ketegangan yang dihadirkan, serta sosok-sosok yang berhasil menjalankan misi-misi penting. Kita menjadi tegang karena mengetahui betapa beratnya perjuangan seorang atlet untuk membela negara. Kita juga bahagia saat mengetahui bahwa pengorbanan itu membuahkan hasil yang positif.
Tugas seorang komentator adalah memindahkan ketegangan seorang atlet ke dalam pikiran semua penonton. Dan komentator seperti Sambas dan Valentino sukses membuat publik menjadi lebih bersemangat, lebih nasionalis, dan lebih mencintai tim tanah air. Mereka telah menebalkan nasionalisme, merawat kebanggan kita pada bangsa, serta menunjukkan kepada semua orang bahwa hanya dengan semangat tinggi, negeri ini bisa mengalahkan segala yang mustahil. Bravo buat mereka. Jebrettt…!!!!
Baubau, 24 September 2013