Ada beberapa kasus di mana pilot tidak mampu mengenali arah dan kemiringan pesawatnya. Gangguan ini dinamakan disorientation, yaitu pilot mengalami kesulitan mengenali posisi dan arah pesawatnya.
Ketika berada di angkasa, pilot seringkali merasa kesulitan dalam menentukan posisi dan arah pesawatnya. Untuk itu, pilot memerlukan bantuan instrumen untuk menentukan posisinya dan arah tujuan terbangnya.
Sayangnya, ada kasus di mana pilot tidak mampu mengenali arah dan kemiringan pesawatnya. Salah satu contoh kasusnya adalah pesawat Adam Air dengan tujuan Makassar yang nyasar ke Tambolaka, NTT. Kasus yang lebih parah adalah hilangnya pesawat Adam Air di Majene yang ternyata terjun bebas ke perairan selat Makassar.
"Pada kasus semacam ini, pilot mengalami spatial disorientation, yaitu gangguan dimana pilot mengalami kesulitan mengenali posisi dan arah pesawatnya. Contohnya saat akan mendarat sebenarnya pesawat melakukan belokan yang cukup tajam. Tetapi para penumpang banyak yang tidak menyadari," kata dr Herman Muljadi, investigator KNKT dari Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa TNI AU (Lakespra) dr Saryanto dalam acara diskusi Flight Safety : Human Factor in Aviation di Lakespra Saryanto, Jakarta, Selasa (5/4/2012).
Dr Herman mengambil satu contoh kasus kecelakaan pesawat Adam Air di Majene. Saat itu, pada mulanya pilot diduga mengalami spatial disorientation hingga pesawat mengalami kemiringan 30 derajat ke bawah. Kemiringan ini kemudian naik menjadi 60 derajat dan kemudian 90 derajat hingga akhirnya pesawat terjun ke laut.
"Pada pilot berpengalaman, biasanya kemiringan 30 derajat saja sudah terasa. Tapi entah kenapa pada penerbangan itu ketika terjadi kemiringan 30 derajat pilot tidak segera menaikkan pesawatnya," kata dr Herman.
Teknologi penerbangan sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Mulai dari sistem navigasinya maupun peralatan pendukung. Semua instrumen penerbangan ini telah dirancang sedemikian rupa untuk menghindari error dalam penerbangan dan terjamin kualitasnya.
Dalam melakukan penerbangan, pilot mengandalkan instrumen dan penglihatannya. Saat berada pada ketinggian di mana pilot hanya dapat melihat awan, pilot lebih mengandalkan instrumen karena sulit menentukan posisinya. Sedangkan pada ketinggian sekitar 7000 -9000 kaki pilot akan lebih mengandalkan penglihatan untuk menghindari tabrakan dengan gunung atau benda-benda lain yang kasat mata.