Bagi pelaku usaha di sektor telekomunikasi, istilah modern Licensing (ML) tentunya tidak asing. ML adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh regulator bagi lisensi penyelenggaraan telekomunikasi dengan tujuan mendorong tersebarnya pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi, dan Komunikasi (TIK) ke seluruh wilayah di nusantara.
Melalui ML, pelaku usaha diwajibkan memberikan proposal izin prinsip penyelenggaraan yang di dalamnya memuat rencana pembangunan lima tahunan dalam bentuk pembangunan fisik infrastruktur. Dalam penerapannya, dengan azas equal-treatment, pola lisensi ini diberlakukan kepada semua jenis penyelenggaraan tanpa pandang bulu.
Untuk diketahui, dalam Undang-undang Telekomunikasi terdapat tiga kelompok penyelenggara, yaitu jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan telekomunikasi khusus (Telsus).
“Sepintas konsep ML itu terkesan benar dan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Namun, seiring telah berkembangnya situasi saat ini, akan lebih baik bila dilakukan harmonisasi terhadap aturan ini agar sejalan atau sinkron dengan sifat alamiah dari jenis usaha yang diselenggarakan,” ungkap Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono kepada Koran Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, diperlukan harmonisasi karena kenyataan di lapangan berbicara lain. Misalnya, penyelenggara jasa tidak memiliki jaringan, sedangkan penyelenggara jaringan dapat menyelenggarakan jasa. Berarti, yang secara alamiah harus membangun infrastruktur adalah kelompok penyelenggara jaringan, sedangkan penyelenggara jasa tidak selalu perlu untuk membangun fisik jaringan namun yang diusahakan adalah meningkatkan kapasitas layanan dan jumlah pengguna.
Sedangkan Telsus, sesuai dengan nomen-klatur-nya, adalah penyelenggaraan telekomunikasi tertentu untuk keperluan tertentu dan mungkin pada keadaan tertentu pula. Dari diskripsi ini bisa dengan mudah dipahami bahwa Telsus hanya membangun sekali di awal, selanjutnya belum tentu memerlukan ekspansi jaringan. Dengan fakta ini, bagaimana mungkin diterapkan aturan ML yang mustahil untuk dipenuhi.
Belum lagi fakta adanyanya beberapa penyelenggaraan yang sifatnya on-demand alias akan membangun dan memperluas jaringan hanya bila ada permintaan atau menang tender. Contoh, VSAT dan radio-trunking.
“Pada model bisnis yang semacam ini tentu saja mustahil untuk bisa menyusun rencana pembangunan lima tahunan. Kalau terpaksa menyusunnya karena merupakan prasyarat mengajukan izin prinsip, maka bisa dipastikan bahwa rencana yang dibuat adalah “tidak sungguhan” sehingga tidak akan bisa terlaksana. Meski secara administratif comply dengan aturan ML, tetapi capaian pelaksanaan pembangunan pasti kurang dari yang dikomitmenkan,” tuturnya.
Jika memaksakan konsep ML, lanjutnya, dengan memaksa operator untuk secara regular membangun alias membelanjakan belanja modal, sementara dinamika bisnis bisa saja membuat revenue turun ke level yang tidak memungkinkan investasi baru tentu akan menyulitkan bagi industri.
Selain itu kewajiban ML juga bertentangan dengan sifat bisnis yang kompetitif liberal. Hal ini karena di satu sisi ada kewajiban investasi yang bisa mendorong tarif naik, namun di sisi lain operator harus kompetitif yang mengharuskan tarif turun.
“Belum lagi ada sanksi denda yang mengintai operator jika ML tidak terpenuhi. Karena itulah konsep ML yang menekankan pada pembangunan infrastruktur tidak mungkin diterapkan pada semua jenis perizinan,” tegasnya.
Nonot mengungkapkan, langkah pertama untuk mengharmonisasikan konsep ML adalah segera melakukan analisis tentang jumlah operator yang ideal agar iklim usaha tetap sehat dengan tingkat kompetisi yang menguntungkan masyarakat pengguna.
“Apabila dari kajian ditemui jumlah yang ideal dan kenyataan masih ada yang mengajukan izin, maka diarahkan untuk penyertaan modal baik melalui pasar saham atau pun negosiasi individual,” katanya.
Pantas Direvisi
Secara terpisah, Ketua Komisi Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam mengakui kosnpe ML memang harus dievaluasi karena industri akan menuju era konvergensi. “Teknologi jaringan semakin bervariasi begitu juga dengan jasanya serta cakupan wilayah Indonesia juga demikian luas. Ini harus didefinis lagi siapa yang akan membangun jaringan,” jelasnya.
Menurut Johnny, konsep ML baiknya lebih fokus untuk operator jaringan dengan memperhatikan area pembangunan tidak hanya di wilayah secara komersial menguntungkan.
Chief Marketing Officer Indosat Guntur S Siboro mengingatkan, isu besar jika ML direvisi adalah bagaimana mengelola Mobile Virtual Netwotk Operation (MVNO) yang akan menuntun industri telekomunikasi ke yurisdiksi pengaturan trading atau komersial secara umum bukan lagi khusus yurisdiksi pengaturan telekomunikasi.
Hal lain adalah jika bisnis jaringan didorong oleh pasar maka efisiensi akan terjadi oleh mekanisme pasar. “Tantangannya selalu pada keinginan membangun di daerah yang prospek bisnisnya masih jauh,” katanya.
Namun menurut Guntur, jika akhirnya ML lebih dititik beratkan bagi penyelenggara jaringan, tidak akan mematikan pemilik lisensi karena bisnis wholesale (kapasitas infrastruktur) juga menarik. “Saat ini malah mungkin lebih profitable dibanding retail selling karen entry barrier-nya lebih tinggi (investasi besar) dan tidak perlu keluar biaya pemasaran yang tinggi. Untuk model bisnisnya bisa Pola Bagi Hasil (PBH) atau Build Operating Transfer (BOT),” katanya.
Sementara Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi menyatakan tidak ada masalah konsep ML diubah selama dapat meningkatkan efisiensi nasional kami rasa tidak ada salahnya.
Suara berbeda dilontarkan oleh penguasa jaringan seluler saat ini, Telkomsel. Deputy VP Corporate Secretary Telkomsel Aulia E. Marinto mengatakan, konsep ML dilandasi pemikiran untuk optimasi sumberdaya terbatas berupa frekuensi, sehingga setiap penyelenggara jaringan yg memiliki lisensi penggunaan frekuensi diwajibkan membangun dengan komitmen waktu dan cakupan.
“Atas dasar itu pemerintah harus konsisten untuk menagih komitmen penyelenggara sesuai dengan ML-nya. Apabila pemerintah hendak mengakomodir penyelenggara jasa layanan yang tidak memiliki alokasi frekuensi dan dalam rangka infrastructure sharing, maka seharusnya dibuat layer dalam struktur perijinan di luar ML sebagai MVNO, sehinggga tidak ada pengesampingan kewajiban pembangunan seperti yang terjadi dalam kasus domestik roaming,” tegasnya.
Sedangkan Ketua Masyarakat Telematika Indonesia Setyanto P. Santosa menyarankan, konsep ML direvisi setelah Undang-undang konvergensi disahkan sehingga tidak perlu dilakukan perubahan lagi.
“Pemerintah harus berfikir bagaimana infrastruktur TIK yang berupa last miles dari Fixed (Wireline) broadband dibangun secara massif karena ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama dalam menggerakan ekonomi kreatif,” tegasnya.
Diingatkannya, jika ML direvisi, maka kewajiban membangun di area “kering” harus ditaati dan dilaksanakan dengan konsisten sehingga infrastruktur tidak bertumpuk di lokasi yang menguntungkan secara bisnis.[dni]
http://doniismanto.com/2010/01/27/280110-revisi-modern-licensing-upaya-mengharmonisasi-regulasi-dan-industri/